Ini ialah sebuah kisah besar. Semoga dengan kisah ini menjadi pedoman dan pegangan buat kita sentiasa perbaiki ibadah umrah pada masa akan datang dan bakal tiba ya.
Insha Allah. Dari Allah kita datang dan kepada Allah kita kembali.
Manis Haji dengan ilmu
Kisah wali Allah bernama Syibli dalam kitab _Itthaf Saadah Al-Muttaqin bi Syarh Ihya' Ulum adDin karangan Imam As-Sayyid Muhammad Ibnu Muhammad al-Zabidi._
Dialog ini juga difahamkan telah diterjemahkan dari kitab Al-Mustadrak 10:166.
Dialog ini terjadi antara Imam Ali Zainal Abidin dengan Asy-Syibli. Asy-Syibli adalah seorang ulama sufi besar dan terkenal hingga sekarang, khususnya di kalangan para sufi.
Imam Ali Zainal Abidin adalah putera Al-Husein cucu Rasulullah saw.
Tersebutlah Asy-Syibli, seorang murid Imam Ali Zainal ‘Abidin. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, ia segera menemui Ali untuk menyampaikan pengalaman hajinya.
Terjadilah percakapan di antara mereka.
“Wahai Syibli, bukankah engkau telah selesai menunaikan ibadah haji?” tanya Ali.
Ia menjawab, “Benar, wahai Guru.”
“Apakah engkau berhenti di Miqat, lalu menanggalkan semua pakaian yang terjahit, dan kemudian mandi?”
Asy-Syibli menjawab, “Benar.”
“Ketika berhenti di miqat, apakah engkau bertekad untuk menanggalkan semua pakaian maksiat dan menggantinya dengan pakaian taat?
Ketika menanggalkan semua pakaian terlarang itu, adakah engkau pun menanggalkan sifat riya, nifaq, serta segala syubhat?
Ketika mandi sebelum ihram, adakah engkau berniat membersihkan dari segala pelanggaran dan dosa?”
Asy-Syibli menjawab, “Tidak.”
“Kalau begitu, engkau tidak berhenti di miqat, tidak menanggalkan pakaian yang terjahit, dan tidak pula membersihkan diri!”
Ali bertanya kembali:
“Ketika mandi dan berihram serta mengucapkan niat, adakah engkau bertekad untuk membersihkan diri dengan cahaya taubat?
Ketika niat berihram, adakah engkau mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan Allah?
Ketika mulai mengikatkan diri dalam ibadah haji, apakah engkau rela melepaskan semua ikatan selain Allah?”
“Tidak,” jawabnya.
“Kalau begitu, engkau tidak membersihkan diri, tidak berihram, tidak pula mengikatkan diri dalam haji.
Bukankah engkau telah memasuki miqat, lalu solat dua rakaat, dan setelah itu engkau mulai bertalbiyah?”
“Ya, benar.”
“Apakah ketika memasuki miqat engkau meniatkannya sebagai ziarah menuju keredhaan Allah?
Ketika solat dua rakaat, adakah engkau berniat mendekatkan diri kepada Allah?”
“Tidak, wahai Guru.”
“Kalau begitu engkau tidak memasuki miqat, tidak bertalbiyah dan tidak solat ihram dua rakaat!,” tegas Ali Zainal ‘Abidin.
“Apakah engkau memasuki Masjidil Haram, memandang Ka’bah serta solat di sana?”
“Benar.”
“Ketika memasuki Masjidil Haram, apakah engkau berniat mengharamkan dirimu segala macam ghibah?
Ketika sampai di Makkah, apakah engkau bertekad untuk menjadikan Allah satu-satunya tujuan?”
“Tidak,” jawabnya.
“Sesungguhnya, engkau belum memasuki Masjidil Haram, tidak memandang Ka’bah, serta tidak solat pula di sana!”
Ali bertanya kembali, “Apakah engkau telah bertawaf dan berniat untuk berjalan serta berlari menuju keredhaan Allah?
“Tidak.”
“Kalau begitu, engkau tidak bertawaf dan tidak pula menyentuh rukun-rukunnya!”
Tanpa bosan Ali kembali bertanya, “Apakah engkau berjabat tangan dengan Hajar Aswad dan solat di Maqam Ibrahim?”
Dijawabnya, “Benar.”
Mendengar jawaban itu, Ali Zainal ‘Abidin menangis, seraya berucap:
“Oooh, barangsiapa berjabat tangan dengan Hajar Aswad, seakan ia berjabat tangan dengan Allah. Maka ingatlah, janganlah sekali-kali engkau menghancurkan kemuliaan yang telah diraih, serta membatalkan kehormatanmu dengan aneka dosa!.”
Cucu Rasulullah SAW ini terus bertanya muridnya:
“Saat berdiri di Maqam Ibrahim, apakah engkau bertekad untuk tetap berada di jalan taat serta menjauhkan diri dari maksiat?
Ketika shalat dua rakat di sana, apakah engkau bertekad untuk mengikuti jejak Ibrahim serta menentang semua bisikan setan?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, engkau tidak berjabat tangan dengan Hajar Aswad, tidak berdiri di Maqam Ibrahim, tidak pula solat dua rakaat!”
Lanjutnya, “Apakah ketika melakukan Sa’ie, antara Safa dan Marwah, engkau menempatkan diri di antara harapan akan rahmat Allah dan rasa takut menghadapi murkaNya?”
“Tidak,” jawab Asy-Syibli.
“Kalau begitu, engkau tidak melakukan perjalanan antara dua bukit itu! Ketika pergi ke Mina, apakah engkau bertekad agar orang-orang merasa aman dari gangguan lidah, hati, serta tanganmu?”
“Tidak.”
Ali menggelengkan kepala, “Kalau begitu, engkau belum ke Mina! Apakah engkau telah Wukuf di Arafah, mendaki Jabal Rahmah, mengunjungi Wadi Namirah, serta memanjatkan do’a-do’a di bukit Shakharaat?”
“Benar, seperti itu.”
“Ketika Wukuf di Arafah, apakah engkau menghayati kebesaran Allah, serta berniat mendalami ilmu yang dapat mengantarkanmu kepadaNya?
Apakah ketika itu engkau merasakan kedekatan yang demikian dekat denganmu?
Ketika mendaki Jabal Rahmah, apakah engkau mendambakan Rahmat Allah bagi setiap Mukmin?
Ketika berada di Wadi Namirah, apakah engkau berketetapan hati untuk tidak mengamarkan yang ma’ruf, sebelum engkau mengamarkannya pada dirimu sendiri? Serta tidak melarang seseorang melakukan sesuatu sebelum engkau melarang diri sendiri?
Ketika berada di antara bukit-bukit sana, apakah engkau sedar bahwa tempat itu akan menjadi saksi segala perbuatanmu?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, engkau tidak wukuf di Arafah, tidak mendaki Jabal Rahmah, tidak mengenal Wadi Namirah, tidak pula berdo’a di sana!
Apakah engkau telah melewati kedua bukit Al-’Alamain, melakukan solat dua rakaat sebelumnya, lalu meneruskan perjalanan ke Muzdalifah untuk memungut batu-batu di sana, lalu melewati Masy’aral Haram?”
“Ya, benar.”
“Ketika solat dua rakaat, apakah engkau meniatkannya sebagai solat syukur, pada malam menjelang sepuluh Dzulhijjah, dengan mengharap tersingkirnya segala kesulitan serta datangnya segala kemudahan?
Ketika lewat di antara bukit itu dengan sikap lurus tanpa menoleh kanan kiri, apakah saat itu engkau bertekad untuk tidak bergeser dari Islam; tidak dengan hatimu, lidahmu, dan semua gerak gerikmu?
Ketika berangkat ke Muzdalifah, apakah engkau berniat membuang jauh segala maksiat serta bertekad untuk beramal yang diredhai-Nya?
Ketika melewati Masy’aral Haram, apakah engkau mengisyaratkan untuk bersyiar seperti orang-orang takwa kepada Allah?”
“Tidak.”
“Wahai Syibli, sesungguhnya engkau tidak melakukan itu semua!”
Ali Zainal ‘Abidin melanjutkan:
“Ketika engkau sampai di Mina, apakah engkau yakin telah sampai di tujuan dan Tuhanmu telah memenuhi semua hajatmu?
Ketika melempar Jumrah, apakah engkau meniatkan untuk melempar dan memerangi iblis, musuh besarmu?
Ketika mencukur rambut (tahallul), apakah engkau bertekad untuk mencukur segala kenistaan?
Ketika solat di Masjid Khaif, apakah engkau bertekad untuk tidak takut, kecuali kepada Allah dan tidak mengharap rahmat kecuali dari-Nya semata?
Ketika memotong haiwan korban, apakah engkau bertekad untuk memotong urat ketamakan; serta mengikuti teladan Ibrahim yang rela mengorbankan apapun demi Allah?
Ketika kembali ke Makkah dan melakukan Tawaf Ifadhah, apakah engkau meniatkannya untuk berifadhah dari pusat rahmat Allah, kembali dan berserah kepadaNya?”
Dengan gementar, Asy-Syibli menjawab, “Tidak, wahai Guru.”
“Sungguh, engkau tidak mencapai Mina, tidak melempar Jumrah, tidak bertahallul, tidak menyembelih korban, tidak manasik, tidak solat di Masjid Khaif, tidak Tawaf Ifadhah, tidak pula mendekat kepada Allah!
Kembalilah, kembalilah!
Sesungguhnya engkau belum menunaikan hajimu!”
Asy-Syibli menangis tersedu, menyesali ibadah haji yang telah dilakukannya.
Sejak itu, ia giat memperdalam ilmunya, sehingga tahun berikutnya ia kembali berhaji dengan ma’rifat serta keyakinan penuh.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan